Rabu, 22 Oktober 2008

Sumpah Pemuda dan Kemandirian Bangsa


Oleh: Siswono Yudo Husodo
Ketua Yayasan Pendidikan dan Pembinaan Universitas Pancasila


Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dikenang sebagai lahirnya kesepakatan unsur-unsur bangsa yang sangat heterogen untuk menjadi bangsa yang satu. Itulah saat resmi lahirnya bangsa Indonesia, yang sebelumnya nomenklatur Indonesia belum digunakan untuk menamai suatu bangsa, suatu bahasa, dan suatu tanah air. Meskipun serupa dalam semangatnya untuk menyatukan Nusantara, Sumpah Pemuda berbeda dengan Sumpah Palapa yang diucapkan Mahapatih GajahMada. Sumpah Palapa menempatkan Kerajaan Majapahit sebagai pusat; Sumpah Pemuda ingin menyatu, membangun persatuan dalam napas kebebasan, persaudaraan dan kesetaraan; bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, Indonesia. Negara kebangsaan Indonesia yang menaungi bangsa baru itu lahir 17 tahun kemudian, melalui Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Selayaknyalah peristiwa bersejarah yang demikian penting itu diperingati dengan mendalami semangat yang terkandung dalam peristiwa itu. Secara umum, perjuangan bangsa kita untuk mencapai kemerdekaan bercorak amat lengkap. Ada upaya politik, sosial, dan budaya di mana Sumpah Pemuda adalah salah satu tonggak pentingnya. Ada upaya dalam dimensi intelektual dengan banyak buah pikir ideologis yang amat bermutu karya para pendiri Republik yang sangat intelektual dan banyak membaca buku-buku bermutu. Juga ada perjuangan bersenjata.

Tak banyak bangsa terjajah yang memiliki kemampuan untuk mengorganisir perjuangan kemerdekaannya dalam arena politik, sosial, budaya, intelektual ideologis, dan perjuangan bersenjata secara simultan seperti bangsa kita. Untuk mencapai kemerdekaan itu juga ada pilihan jalan yang lebih tenang dan perlahan, dengan patuh pada skenario masa depan bangsa yang dirancang penjajah, yang juga ditempuh oleh beberapa negara jajahan. Pendiri bangsa Generasi pendiri bangsa dan negara ini memperlihatkan karakter bangsa pejuang yang ulet dan hebat, yang menolak didikte dan merancang sendiri skenario masa depan bangsanya.
Banyak yang menyatakan bahwa generasi pendiri bangsa kita adalah “the golden generation”, karena mereka bukan saja terdidik tetapi juga tercerahkan dan memiliki semangat perjuangan yang amat besar, dengan percaya diri merebut kemerdekaan dan membangun kemandirian bangsanya.

Melihat Indonesia hari ini, sepatutnya kita malu kepada generasi terdahulu tersebut. Esensi penting Sumpah Pemuda yang berupa semangat persatuan di antara unsur-unsur bangsa yang bhinneka dan tekad untuk membangun bangsa yang mandiri telah dirusak oleh berbagai peristiwa belakangan ini. Sekelompok kecil fundamentalis “membajak” agama Islam, melakukan tindakan anarkis seperti penutupan dan perusakan sarana ibadah agama lain di berbagai tempat, perusakan toko yang menjual minuman beralkohol untuk warga non-Muslim atau orang-orang asing di Kemang, hingga aksi bom bunuh diri dan lain-lain tindakan radikalisme yang memusuhi kemanusiaan dan merusak upaya membangun persaudaraan kebangsaan.

Di sisi lain, kita juga patut prihatin bahwa sebagai suatu bangsa, tekad kita untuk menjadi bangsa yang mandiri kian merosot dan ketergantungan kita semakin meningkat. Manifestasinya terlihat dari orientasi solusi yang diambil setiap kita menghadapi peningkatan kebutuhan yang bisa kita produksi sendiri. Kekurangan beras, solusinya impor beras, hingga kita pernah menjadi negara importir beras terbesar di dunia. Kekurangan gula solusinya juga impor, hingga sekarang kita mengimpor gula 40 persen dari kebutuhan nasional. Pada waktu kekurangan daging sapi, solusinya impor dan sekarang setiap tahun kita mengimpor sekitar 550.000 ekor sapi.
Padahal untuk semua itu, dengan biaya yang lebih rendah, serta menghemat devisa, kita bisa membuat solusi dengan meningkatkan produksi. Sewaktu ditemukan deposit tembaga dan emas yang amat besar di Papua, kita menyerahkannya kepada Freeport. Sewaktu ditemukan cadangan minyak yang besar di Cepu, kita menyerahkannya kepada Exxon. Padahal, dengan dukungan tenaga-tenaga ahli dan permodalan yang tersedia di dunia ini, kita juga mampu mengerjakannya sendiri, seperti yang dilakukan oleh Arifin Panigoro dengan Medco-nya.
Indonesia perlu melahirkan puluhan Arifin Panigoro, juga puluhan Rusdi Kirana yang mampu mengembangkan Lion Air yang berdaya saing tinggi dan puluhan Ir SL Tobing yang membangun air minum kota Batam yang efisien. Itu semua hanya bisa berlangsung manakala mereka memperoleh kesempatan dari negara. Kita akan bisa kalau kita yakin kita bisa.

Bukti-bukti empirik semua negara bangsa di bumi ini meyakinkan saya bahwa kemandirian adalah kebutuhan yang esensial bagi suatu bangsa yang ingin tetap merdeka. Utang luar negeri negara kita setiap tahun juga terus meningkat. Di akhir 21 tahun pemerintahan Bung Karno pada tahun 1966, utang LN negara kita hanya 2,5 miliar dollar AS; 53 tahun setelah merdeka, diakhir pemerintahan Presiden Soeharto pada tahun 1998 utang LN kita menjadi 54 miliar dollar AS. Hanya dalam waktu empat tahun, antara tahun 1998-2002, utang LN kita bertambah 23 miliar dollar AS menjadi 77 miliar dollar AS.
Berdirinya negara Sejak awal berdirinya negara kita sampai dengan tahun 2002, cicilan pokok dan bunga utang LN Pemerintah RI yang telah kita bayar berjumlah 127 miliar dollar AS, dan kita masih mempunyai utang ke luar negeri 77 miliar dollar AS.

Banyaknya devisa yang kita gunakan untuk membayar bunga dan cicilan pokok utang luar negeri telah mengurangi kemampuan negara untuk melakukan pembangunan bagi kesejahteraan rakyat dan menekan nilai rupiah. Utang LN Indonesia, yang terlalu banyak, telah menjadi beban bagi negara. Sebagai suatu entitas ekonomi, negara memang wajar berutang ke luar negeri. Berbagai pembangunan yang telah kita lakukan, antara lain bandara dan pelabuhan; irigasi dan PLTA seperti Jatiluhur, Asahan; persenjataan perang untuk membebaskan Irian Barat; fasilitas telekomunikasi Satelit Palapa dan lain-lain sebagian juga dibiayai dari utang luar negeri. Jepang yang sekarang sangat sejahtera dan modern juga pernah berutang keluar negeri pasca-Perang Dunia II untuk rekonstruksi dan membayar pampasan perang.

Tentu harus ada batas, kapan kita mulai mengurangi utang dan melunasinya. Jepang berhenti berutang tahun 1960, mulai mengangsur tahun 1961 dan melunasi seluruh utang luar negerinya tahun 1975. Tahun 1977 Jepang mulai menjadi negara donor, dan sekarang telah menjadi negara donor terbesar untuk banyak negara, termasuk Indonesia. Semangat Sumpah Pemuda dan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah pernyataan politik untuk menjadi bangsa yang merdeka dan mandiri.

Bung Karno menegaskannya dalam Pidato Trisakti tahun 1963; Berdaulat secara politik, Berdikari secara ekonomi, dan Berkepribadian secara sosial budaya. Negara yang berhasil membangun kemandiriannya akan menumbuhkan kebanggaan pada warganya dan mendorong mereka berprestasi maksimal bagi kemajuan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Dengan kemandirian itulah eksistensi suatu bangsa dan standar kesejahteraan yang tinggi bagi setiap warganya akan terjamin.Membangun kemandirian bangsa di era sekarang juga berarti meningkatkan integritas dan kapabilitas bangsa untuk dapat secara cerdas menentukan pilihan dan mewujudkan cita-cita membangun negara modern yang bertumpu pada kemampuannya sendiri, dengan memanfaatkan dinamika dunia yang semakin didorong maju oleh proses globalisasi.
Dengan utang negara yang terlalu besar dibandingkan dengan PDB, di dunia yang semakin menempatkan ekonomi sebagai faktor penting, telah membuat kedaulatan negara menjadi rapuh. Sekali berkembang budaya berutang, berapa pun tidak akan pernah cukup karena peningkatan kemampuan ekonomi bangsa selalu kurang dari peningkatan harapan dan keinginan warganya. Peningkatan harapan dan keinginan adalah hal yang positif yang akan mendorong kemajuan. Meningkatnya harapan dan keinginan itu janganlah dipenuhi dengan berutang, tetapi dipenuhi dengan meningkatkan kemandirian dan kemampuan bangsa yang akan semakin memperbesar kekuatan bangsa dan kedaulatan negara. Pilihan ke arah berutang semakin mendorong ketergantungan bangsa.
Diperlukan keputusan politik untuk mulai mengurangi utang ke luar negeri sesegera mungkin, dan akhirnya melunasi seluruh utang LN kita, paling tidak dalam waktu 30 tahun; sebagai wujud tekad kemandirian ekonomi bangsa.

Tekad berhenti berutang dan melunasi seluruh utang LN itu bukanlah masalah bisa atau tidak bisa, tapi mau atau tidak mau, berani atau tidak berani. Upaya memperbesar PDB untuk membuat utang LN relatif mengecil harus semakin ditumpukan pada kegiatan ekonomi masyarakat dan porsi APBN dengan utang LN di dalamnya harus semakin berkurang.
NPV (Nett Present Value) utang LN juga bisa diturunkan dengan meminta diskon bunga dan perpanjangan jangka waktu pelunasan. Indonesia juga berpeluang meningkatkan program debt-swap (konversi utang) yang telah kita lakukan, di antaranya untuk memajukan kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat, pengentasan kemiskinan, dan pembangunan infrastruktur pedesaan. Kegiatan lobi internasional perlu ditekankan pada isu beban utang yang terlalu berat dan keberlanjutan utang Indonesia (Indonesia’s debt sustainability), dikaitkan dengan Millenium Development Goal’s (MDG), dan mengupayakan tambahan fasilitas perdagangan internasional, guna memupuk devisa, yang amat positif bagi kemajuan ekonomi kita di tengah semakin ketatnya persaingan dipasar global saat ini.

Setiap tahun perlu diupayakan agar utang baru selalu lebih kecil daripada angsuran utang lama.
Kita perlu kerja keras yang cerdas dan kembali pada karakter bangsa pejuang yang ulet dan intelektual, yang akan mengantarkan kita pada kemandirian bangsa dan kemerdekaan yang sejati.

1 komentar:

infogue 28 Oktober 2008 pukul 20.08  

Artikel anda:

http://nasional.infogue.com/
http://nasional.infogue.com/sumpah_pemuda_dan_kemandirian_bangsa

promosikan artikel anda di infoGue.com. Telah tersedia widget shareGue dan pilihan widget lainnya serta nikmati fitur info cinema untuk para netter Indonesia. Salam!

About This Blog

  © Blogger template 'Blue Greens' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP